CEROBONG-cerobong asap yang menjulang hingga menyentuh langit, kini membisu. Mereka adalah saksi tentang geliat usaha pabrik genteng di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, berpuluh-puluh tahun lalu.
Jatiwangi kini sedang berada di masa sulit. Kota yang terkenal karena produksi gentengnya yang memenuhi pasar Indonesia ini seolah harus menyerah pada modernitas. Pagi hari sebelum matahari tampak sempurna, sekumpulan lelaki dewasa mengendarai motor tampak bergerombol di sepanjang jalan Bandung-Cirebon, tepatnya mulai dari daerah Kadipaten, Kasokandel, Jatiwangi, Palasah, hingga terus ke daerah Sumberjaya.
Mereka adalah suami yang mengantarkan istri atau anak perempuannya bekerja di pabrik-pabrik garmen, wafer, sepatu, tas, ataupun rokok. Tak sedikit pula pemuda yang mengantar adik perempuannya ke pabrik-pabrik itu. Wajah-wajah perempuan muda berusia 20-30 tahun itu tampak gembira, apalagi ketika hari pembagian gaji tiba.
Rutinitas inilah yang akan kita temui setiap hari, hampir 10 tahun terakhir, sejak Majalengka dikukuhkan menjadi kawasan industri. Daerah ini telah menjadi surga para pencari kerja. Kemilau genteng Pada 1980-1990-an, genteng Jatiwangi sudah merambah pasar internasional. Eropa, Malaysia, dan Brunei Darussalam menjadi negara-negara tujuan pengiriman. genteng Jatiwangi terbuat dari bahan baku tanah berkualitas tinggi.
Kala itu, beberapa orang di Jatiwangi kaya raya berkat usaha genteng. Ada 600-an jebor atau pabrik genteng yang berdiri pada waktu itu. Mulai dari Kadipaten hingga Sumberjaya, sejauh mata kita memandang akan terlihat tumpukan genteng-genteng yang ditawarkan di depan rumah warga. Dari usaha genteng tersebut, Jatiwangi menjelma menjadi kota kecil yang kaya. Jangan dibayangkan desa kecil dengan banyak penduduknya bergubuk reyot.
Sebagian warga yang menjadi pengusaha genteng memiliki rumah-rumah besar dan mobil-mobil mewah di pekarangan rumahnya di Desa Burujul, Cicadas, Sukaraja, Jatiwangi, Loji. Hari ini, semua memudar. genteng-genteng Jatiwangi yang dipajang sepanjang jalan berselimut debu karena terlalu lama menunggu pembeli.
Rumah-rumah mewah menjadi lusuh. Bahkan beberapa bangunan besar dan penting di Jatiwangi, seperti pasar modern, tidak lagi menggunakan genteng Jatiwangi. Pelan tapi pasti, para pengusaha pabrik genteng menuju masa tutup usia. Sekarang hanya tersisa 150 jebor, itu pun nilai produksinya jauh menurun.
Menurut cerita warga, usaha genteng Jatiwangi bermula dari Haji Umar pada 1905. Ketika itu ia berinisiatif mengganti atap suraunya, yang semula terbuat dari ijuk, menjadi genteng dari tanah. Sejak 1930-an, pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian khusus, mulai mengganti atap bangunan pemerintah dan perumahan pegawai pemerintah, dengan genteng tanah. Lihat Foto Jumlah pabrik genting di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, dalam kurun waktu 1980-2018 yang diperoleh berdasarkan observasi, situs web BPS Majalengka, dan wawancara dengan pendiri Museum Genting Jatiwangi Kadus Ila.(FOTO: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO, INFOGRAFIK: LAKSONO HARI W) Kehidupan para pengrajin genteng waktu itu terus berlangsung. Proses cetaknya sangat sederhana, dibuat dengan tangan secara manual.
Hingga tahun 1960-an, pengrajin genteng mulai marak di daerah Burujul. Pada 1977, ketika Orde Baru menggaungkan program Pembangunan Lima Tahun, para pengrajin semakin termotivasi untuk terus menaikkan produksi genteng. Mereka mulai beralih menggunakan mesin agar pekerjaan lebih cepat dan lebih ringan. Pada 1980-2000, seiring meningkatnya perekonomian rakyat dan majunya pembangunan, semakin banyak pengrajin di daerah Jatiwangi yang mendirikan pabrik genteng. Alasan di balik kebangkrutan Keadaan ini tidak hadir tiba-tiba.
Ada banyak faktor yang mengambil andil dalam kebangkrutan pabrik genteng Jatiwangi. Faktor utama adalah keterbatasan tanah liat sebagai bahan baku. Ini merupakan sumber daya alam yang terus-menerus dipakai dan suatu saat akan menipis dan habis. Kualitas tanah liat juga menurun, seiring banyaknya pemukiman. Penurunan kualitas mengakibatkan nilai produk juga menurun, genteng-genteng jadi mudah pecah.
Ongkos produksi terus meningkat, sementara nilai jual menyusut. Kurangnya inovasi menjadi penyebab kedua. Para pengusaha pabrik genteng seolah sudah sangat puas dengan ritme yang berjalan puluhan tahun itu.
Mereka tak mau beranjak dari zona nyaman. Bentuk dan proses pembuatan genteng masih sama. Mesin yang dipakai tak berganti bentuk. Para pekerjanya pun masih harus kotor. Seiring pesatnya kemajuan industri genteng, ada bagian yang mereka lupakan, antara lain kreativitas yang selalu ditunggu oleh para konsumennya. Modernisme memaksa efektivitas, kebaruan dan efensiensi, tetapi sayangnya hal itu tidak lepas dari perhatian mereka. Faktor ketiga adalah maraknya metal roof yang diproduksi dan diiklankan terus-menerus awal 2000-an.
Penutup ini menjadi alternatif bagi pembeli dalam memilih atap rumah. Selain mudah didapatkan, genteng metal yang dicetak per lembar juga relatif lebih efektif dan pemasangannya pun cepat. Model rumah bergaya minimalis yang dikembangkan pengembang perumahan Indonesia tahun 2000-an secara tidak langsung menggerus permintaan genteng tanah liat.
Para pengembang perumahan pun berbondong-bondong menggunakan genteng metal dengan alasan kepraktisan dan efisiensi. Genteng tanah liat Jatiwangi menjadi korban dan mulai ditinggalkan para penggemarnya. Pudarnya kejayaan genteng Jatiwangi juga dipengaruhi oleh keberadaan Majalengka sebagai salah satu kawasan yang dilirik pemerintah pusat untuk menunjang pembangunan.
Salah satu yang sudah digarap adalah Bandara Internasional Jawa Barat yang letaknya di Kertajati. Kode dari pemerintah pusat pun disambut gembira oleh daerah. Pemerintah kabupaten gegap gempita mencanangkan Majalengka sebagai kota industri. Keran investor dibuka besar-besaran. Kini banyak pabrik besar di Majalengka bagian utara.
Pabrik garmen, sepatu, obat, Makanan, tas dan masih banyak pabrik lain yang berdiri di lahan-lahan bekas pabrik genteng dan persawahan Jatiwangi. Kehadiran pabrik besar mempercepat senja kala pabrik genteng Jatiwangi. Jumlah pabrik-pabrik besar ini memang jauh di bawah jumlah pabrik genteng. Namun, satu industri besar itu mampu menyedot hingga puluhan ribu tenaga kerja.
Generasi muda, terlebih perempuan, tentu lebih memilih bekerja di pabrik daripada di jebor. Upah minimum sebesar Rp 1,6 juta bisa mereka dapatkan, belum lagi ada uang lembur, meski kadang diberikan tidak sesuai dengan aturan. Menurut mereka, bekerja di pabrik lebih menguntungkan dibanding di jebor. Ada jaminan keselamatan kerja, ada tunjangan hari raya, dan yang terutama, yang paling relevan dengan gaya hidup anak muda zaman sekarang, dan bekerja di pabrik tidaklah kotor. Jatiwangi seperti mengulang sejarah.
Jauh sebelum pabrik genteng berjaya, Jatiwangi pernah menjadi ikon pabrik gula jaman kolonial. Lahan-lahan tebu pemasok bahan baku pabrik gula beralih fungsi menjadi lahan pertanian padi dan palawija, yang banyak dimanfaatkan warga. Sembari bertani warga Jatiwangi sebagian besarnya menjadi buruh. Mereka hidup sederhana dan nyaman. Kenyamanan tersebut pelan-pelan digadai demi iming-iming rupiah yang mengakibatkan banyak petani menjual tanahnya ke pabrik-pabrik manufaktur.
Kini, di jantung kota Jatiwangi, jebor-jebor hantu yang sudah tak berpenghuni tak bergeming melihat pembangunan pabrik yang luas, supermarket, dan kafe yang kian menjamur. Lihat Foto Perbandingan jumlah tenaga kerja dan produksi di pabrik genteng Jatiwangi dari tahun 1980-2018. Data berdasarkan observasi, situs web BPS Majalengka, dan wawancara dengan pendiri Museum Genting Jatiwangi Kadus Ila dan diolah oleh Rena A Asyari.(FOTO: KOMPAS/HARYO DAMARDONO, GRAFIK: LAKSONO HARI W) Lahirnya peradaban baru Menghadapi masa transisi tentu tak mudah. 10 tahun masih saja belum menyembuhkan luka.
Beragam upaya dilakukan agar sedikitnya genteng tak hilang begitu saja. Gelaran acara seperti kontes binaraga, helaran musik dengan instrumen yang terbuat dari tanah liat kerap dihadirkan, semata-mata untuk melambatkan kepergian genteng tanah liat, tetapi kian hari pasti ada saja Jebor yang tutup. Mau tak mau, suka tak suka era baru lahir. Yang lama dan usang mulai ditinggalkan, bukan karena tak cinta, tetapi lebih karena tak sesuai dengan tuntutan zaman.
Peradaban baru selain melahirkan energi-energi baru juga menghadirkan banyak masalah sosial di akar rumput. Ada yang bersuka cita karena tadinya menjadi keluarga prasejahtera sekarang bisa keluar dari impitan ekonomi setelah anak-anak perempuannya menjadi pekerja pabrik. Namun, tak sedikit penduduk Jatiwangi yang mengecam. Para pengusaha genteng meratap, beberapa di antaranya banting setir membangun pusat rekreasi, seperti taman bermain air, supermarket, bengkel motor, gerai pulsa, kafe, ataupun lembaga pendidikan. Para pekerjanya, bukan saja kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan lahan pertanian dan tempat bermain untuk anak-anak. Hilangnya tempat bermain anak-anak Jebor atau pabrik genteng menjadi tempat terbuka sehingga dan memberikan ruang bagi siapa saja untuk berada di sana.
Anak kecil, remaja dan orang tua di Jatiwangi hapal aroma tanah liat dan udara dingin jebor. Rak-rak bambu yang tersusun menjulang menyentuh langit dan alas dari tanah menyebabkan jebor lembap dan dingin. Anak-anak biasa bermain di gunungan karet-karet bekas untuk tambahan bahan bakar pembakaran genteng. Mereka bermain hingga bosan, dekat dengan pengawasan orangtua dan jauh dari bahaya. Jebor juga menjadi tempat mengasuh anak balita bagi ibu-ibu para pekerja, mereka membuat ayunan di antara rak-rak genteng yang terbuat dari bambu.
Para lelaki biasa menghabiskan waktu seharian, menghasilkan peluh dan otot-otot tubuh yang terbentuk alami karena kerja keras. Jebor menjadi memori kolektif hampir seluruh masyarakat di Jatiwangi. Lain halnya dengan pabrik-pabrik besar yang lebih suka mengisolasi diri dan karyawannya, membuat benteng-benteng tinggi, yang tidak mudah dijangkau mata anak-anak. Pabrik besar seolah tak ramah bagi siapa pun. Mereka hanya menyediakan satu pintu untuk para pekerja perempuan yang berduyun-duyun antri ketika jam masuk dan keluar. Minimnya lahan pertanian Jatiwangi bukan desa pertanian.
Palawija dan beras ditanam hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun produksi pertanian sedikit, dulu mereka mandiri menyediakan bahan masak sehari-hari. Sayuran tinggal memetik dari kebun dan nasi tinggal menggilingnya dari beras yang mereka tanam.
Namun tidak dapat disangkal, ketika bangunan berdiri di sana, maka ada tanah yang hilang. Tanah produktif tempat menanam segala jenis makanan palawija dan beras berangsur-angsur menyempit. Sebagai gantinya, berdirilah bangunan manufaktur yang megah, kokoh dan angkuh. Tentu saja ini berimbas pada kebiasaan warga Jatiwangi.
Warga yang dulu ke sawah, giat menanam dan memanen, sekarang tak lagi bisa melakukannya. Bangunan yang menutup lahan juga mengancam ketersediaan air. Jika saat ini warga masih dapat mengandalkan sumur-sumur pribadi, siapa bisa menebak keberadaan air bersih bila esok atau lusa pipa-pipa besar mengalirkannya ke pabrik-pabrik. Problem air bersih akan semakin pelik bila pembuangan limbah pabrik mengalami masalah.
Krisis eksistensi Dampak yang paling ditakutkan adalah krisis eksistensi. Pembukaan kawasan industri tentu saja menyedot banyak pencari tenaga kerja. Mereka berdatangan dari luar kota mencari peruntungan. Akan banyak wajah-wajah asing dengan bahasa dan logat yang berbeda.
Beruntung jika warga setempat bisa bersaing dengan para pendatang. Yang dikhawatirkan justru ketika penduduk asli tidak mampu bersaing dengan penduduk baru dari luar daerah. Jika hal ini terjadi, warga Jatiwangi hanya akan menjadi tamu di rumahnya sendiri. Peradaban baru tentu saja diperlukan untuk melanjutkan kehidupan.
Artikel: Kompas.com
Jatiwangi kini sedang berada di masa sulit. Kota yang terkenal karena produksi gentengnya yang memenuhi pasar Indonesia ini seolah harus menyerah pada modernitas. Pagi hari sebelum matahari tampak sempurna, sekumpulan lelaki dewasa mengendarai motor tampak bergerombol di sepanjang jalan Bandung-Cirebon, tepatnya mulai dari daerah Kadipaten, Kasokandel, Jatiwangi, Palasah, hingga terus ke daerah Sumberjaya.
Mereka adalah suami yang mengantarkan istri atau anak perempuannya bekerja di pabrik-pabrik garmen, wafer, sepatu, tas, ataupun rokok. Tak sedikit pula pemuda yang mengantar adik perempuannya ke pabrik-pabrik itu. Wajah-wajah perempuan muda berusia 20-30 tahun itu tampak gembira, apalagi ketika hari pembagian gaji tiba.
Rutinitas inilah yang akan kita temui setiap hari, hampir 10 tahun terakhir, sejak Majalengka dikukuhkan menjadi kawasan industri. Daerah ini telah menjadi surga para pencari kerja. Kemilau genteng Pada 1980-1990-an, genteng Jatiwangi sudah merambah pasar internasional. Eropa, Malaysia, dan Brunei Darussalam menjadi negara-negara tujuan pengiriman. genteng Jatiwangi terbuat dari bahan baku tanah berkualitas tinggi.
Kala itu, beberapa orang di Jatiwangi kaya raya berkat usaha genteng. Ada 600-an jebor atau pabrik genteng yang berdiri pada waktu itu. Mulai dari Kadipaten hingga Sumberjaya, sejauh mata kita memandang akan terlihat tumpukan genteng-genteng yang ditawarkan di depan rumah warga. Dari usaha genteng tersebut, Jatiwangi menjelma menjadi kota kecil yang kaya. Jangan dibayangkan desa kecil dengan banyak penduduknya bergubuk reyot.
Sebagian warga yang menjadi pengusaha genteng memiliki rumah-rumah besar dan mobil-mobil mewah di pekarangan rumahnya di Desa Burujul, Cicadas, Sukaraja, Jatiwangi, Loji. Hari ini, semua memudar. genteng-genteng Jatiwangi yang dipajang sepanjang jalan berselimut debu karena terlalu lama menunggu pembeli.
Rumah-rumah mewah menjadi lusuh. Bahkan beberapa bangunan besar dan penting di Jatiwangi, seperti pasar modern, tidak lagi menggunakan genteng Jatiwangi. Pelan tapi pasti, para pengusaha pabrik genteng menuju masa tutup usia. Sekarang hanya tersisa 150 jebor, itu pun nilai produksinya jauh menurun.
Menurut cerita warga, usaha genteng Jatiwangi bermula dari Haji Umar pada 1905. Ketika itu ia berinisiatif mengganti atap suraunya, yang semula terbuat dari ijuk, menjadi genteng dari tanah. Sejak 1930-an, pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian khusus, mulai mengganti atap bangunan pemerintah dan perumahan pegawai pemerintah, dengan genteng tanah. Lihat Foto Jumlah pabrik genting di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, dalam kurun waktu 1980-2018 yang diperoleh berdasarkan observasi, situs web BPS Majalengka, dan wawancara dengan pendiri Museum Genting Jatiwangi Kadus Ila.(FOTO: KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO, INFOGRAFIK: LAKSONO HARI W) Kehidupan para pengrajin genteng waktu itu terus berlangsung. Proses cetaknya sangat sederhana, dibuat dengan tangan secara manual.
Hingga tahun 1960-an, pengrajin genteng mulai marak di daerah Burujul. Pada 1977, ketika Orde Baru menggaungkan program Pembangunan Lima Tahun, para pengrajin semakin termotivasi untuk terus menaikkan produksi genteng. Mereka mulai beralih menggunakan mesin agar pekerjaan lebih cepat dan lebih ringan. Pada 1980-2000, seiring meningkatnya perekonomian rakyat dan majunya pembangunan, semakin banyak pengrajin di daerah Jatiwangi yang mendirikan pabrik genteng. Alasan di balik kebangkrutan Keadaan ini tidak hadir tiba-tiba.
Ada banyak faktor yang mengambil andil dalam kebangkrutan pabrik genteng Jatiwangi. Faktor utama adalah keterbatasan tanah liat sebagai bahan baku. Ini merupakan sumber daya alam yang terus-menerus dipakai dan suatu saat akan menipis dan habis. Kualitas tanah liat juga menurun, seiring banyaknya pemukiman. Penurunan kualitas mengakibatkan nilai produk juga menurun, genteng-genteng jadi mudah pecah.
Ongkos produksi terus meningkat, sementara nilai jual menyusut. Kurangnya inovasi menjadi penyebab kedua. Para pengusaha pabrik genteng seolah sudah sangat puas dengan ritme yang berjalan puluhan tahun itu.
Mereka tak mau beranjak dari zona nyaman. Bentuk dan proses pembuatan genteng masih sama. Mesin yang dipakai tak berganti bentuk. Para pekerjanya pun masih harus kotor. Seiring pesatnya kemajuan industri genteng, ada bagian yang mereka lupakan, antara lain kreativitas yang selalu ditunggu oleh para konsumennya. Modernisme memaksa efektivitas, kebaruan dan efensiensi, tetapi sayangnya hal itu tidak lepas dari perhatian mereka. Faktor ketiga adalah maraknya metal roof yang diproduksi dan diiklankan terus-menerus awal 2000-an.
Penutup ini menjadi alternatif bagi pembeli dalam memilih atap rumah. Selain mudah didapatkan, genteng metal yang dicetak per lembar juga relatif lebih efektif dan pemasangannya pun cepat. Model rumah bergaya minimalis yang dikembangkan pengembang perumahan Indonesia tahun 2000-an secara tidak langsung menggerus permintaan genteng tanah liat.
Para pengembang perumahan pun berbondong-bondong menggunakan genteng metal dengan alasan kepraktisan dan efisiensi. Genteng tanah liat Jatiwangi menjadi korban dan mulai ditinggalkan para penggemarnya. Pudarnya kejayaan genteng Jatiwangi juga dipengaruhi oleh keberadaan Majalengka sebagai salah satu kawasan yang dilirik pemerintah pusat untuk menunjang pembangunan.
Salah satu yang sudah digarap adalah Bandara Internasional Jawa Barat yang letaknya di Kertajati. Kode dari pemerintah pusat pun disambut gembira oleh daerah. Pemerintah kabupaten gegap gempita mencanangkan Majalengka sebagai kota industri. Keran investor dibuka besar-besaran. Kini banyak pabrik besar di Majalengka bagian utara.
Pabrik garmen, sepatu, obat, Makanan, tas dan masih banyak pabrik lain yang berdiri di lahan-lahan bekas pabrik genteng dan persawahan Jatiwangi. Kehadiran pabrik besar mempercepat senja kala pabrik genteng Jatiwangi. Jumlah pabrik-pabrik besar ini memang jauh di bawah jumlah pabrik genteng. Namun, satu industri besar itu mampu menyedot hingga puluhan ribu tenaga kerja.
Generasi muda, terlebih perempuan, tentu lebih memilih bekerja di pabrik daripada di jebor. Upah minimum sebesar Rp 1,6 juta bisa mereka dapatkan, belum lagi ada uang lembur, meski kadang diberikan tidak sesuai dengan aturan. Menurut mereka, bekerja di pabrik lebih menguntungkan dibanding di jebor. Ada jaminan keselamatan kerja, ada tunjangan hari raya, dan yang terutama, yang paling relevan dengan gaya hidup anak muda zaman sekarang, dan bekerja di pabrik tidaklah kotor. Jatiwangi seperti mengulang sejarah.
Jauh sebelum pabrik genteng berjaya, Jatiwangi pernah menjadi ikon pabrik gula jaman kolonial. Lahan-lahan tebu pemasok bahan baku pabrik gula beralih fungsi menjadi lahan pertanian padi dan palawija, yang banyak dimanfaatkan warga. Sembari bertani warga Jatiwangi sebagian besarnya menjadi buruh. Mereka hidup sederhana dan nyaman. Kenyamanan tersebut pelan-pelan digadai demi iming-iming rupiah yang mengakibatkan banyak petani menjual tanahnya ke pabrik-pabrik manufaktur.
Kini, di jantung kota Jatiwangi, jebor-jebor hantu yang sudah tak berpenghuni tak bergeming melihat pembangunan pabrik yang luas, supermarket, dan kafe yang kian menjamur. Lihat Foto Perbandingan jumlah tenaga kerja dan produksi di pabrik genteng Jatiwangi dari tahun 1980-2018. Data berdasarkan observasi, situs web BPS Majalengka, dan wawancara dengan pendiri Museum Genting Jatiwangi Kadus Ila dan diolah oleh Rena A Asyari.(FOTO: KOMPAS/HARYO DAMARDONO, GRAFIK: LAKSONO HARI W) Lahirnya peradaban baru Menghadapi masa transisi tentu tak mudah. 10 tahun masih saja belum menyembuhkan luka.
Beragam upaya dilakukan agar sedikitnya genteng tak hilang begitu saja. Gelaran acara seperti kontes binaraga, helaran musik dengan instrumen yang terbuat dari tanah liat kerap dihadirkan, semata-mata untuk melambatkan kepergian genteng tanah liat, tetapi kian hari pasti ada saja Jebor yang tutup. Mau tak mau, suka tak suka era baru lahir. Yang lama dan usang mulai ditinggalkan, bukan karena tak cinta, tetapi lebih karena tak sesuai dengan tuntutan zaman.
Peradaban baru selain melahirkan energi-energi baru juga menghadirkan banyak masalah sosial di akar rumput. Ada yang bersuka cita karena tadinya menjadi keluarga prasejahtera sekarang bisa keluar dari impitan ekonomi setelah anak-anak perempuannya menjadi pekerja pabrik. Namun, tak sedikit penduduk Jatiwangi yang mengecam. Para pengusaha genteng meratap, beberapa di antaranya banting setir membangun pusat rekreasi, seperti taman bermain air, supermarket, bengkel motor, gerai pulsa, kafe, ataupun lembaga pendidikan. Para pekerjanya, bukan saja kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan lahan pertanian dan tempat bermain untuk anak-anak. Hilangnya tempat bermain anak-anak Jebor atau pabrik genteng menjadi tempat terbuka sehingga dan memberikan ruang bagi siapa saja untuk berada di sana.
Anak kecil, remaja dan orang tua di Jatiwangi hapal aroma tanah liat dan udara dingin jebor. Rak-rak bambu yang tersusun menjulang menyentuh langit dan alas dari tanah menyebabkan jebor lembap dan dingin. Anak-anak biasa bermain di gunungan karet-karet bekas untuk tambahan bahan bakar pembakaran genteng. Mereka bermain hingga bosan, dekat dengan pengawasan orangtua dan jauh dari bahaya. Jebor juga menjadi tempat mengasuh anak balita bagi ibu-ibu para pekerja, mereka membuat ayunan di antara rak-rak genteng yang terbuat dari bambu.
Para lelaki biasa menghabiskan waktu seharian, menghasilkan peluh dan otot-otot tubuh yang terbentuk alami karena kerja keras. Jebor menjadi memori kolektif hampir seluruh masyarakat di Jatiwangi. Lain halnya dengan pabrik-pabrik besar yang lebih suka mengisolasi diri dan karyawannya, membuat benteng-benteng tinggi, yang tidak mudah dijangkau mata anak-anak. Pabrik besar seolah tak ramah bagi siapa pun. Mereka hanya menyediakan satu pintu untuk para pekerja perempuan yang berduyun-duyun antri ketika jam masuk dan keluar. Minimnya lahan pertanian Jatiwangi bukan desa pertanian.
Palawija dan beras ditanam hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun produksi pertanian sedikit, dulu mereka mandiri menyediakan bahan masak sehari-hari. Sayuran tinggal memetik dari kebun dan nasi tinggal menggilingnya dari beras yang mereka tanam.
Namun tidak dapat disangkal, ketika bangunan berdiri di sana, maka ada tanah yang hilang. Tanah produktif tempat menanam segala jenis makanan palawija dan beras berangsur-angsur menyempit. Sebagai gantinya, berdirilah bangunan manufaktur yang megah, kokoh dan angkuh. Tentu saja ini berimbas pada kebiasaan warga Jatiwangi.
Warga yang dulu ke sawah, giat menanam dan memanen, sekarang tak lagi bisa melakukannya. Bangunan yang menutup lahan juga mengancam ketersediaan air. Jika saat ini warga masih dapat mengandalkan sumur-sumur pribadi, siapa bisa menebak keberadaan air bersih bila esok atau lusa pipa-pipa besar mengalirkannya ke pabrik-pabrik. Problem air bersih akan semakin pelik bila pembuangan limbah pabrik mengalami masalah.
Krisis eksistensi Dampak yang paling ditakutkan adalah krisis eksistensi. Pembukaan kawasan industri tentu saja menyedot banyak pencari tenaga kerja. Mereka berdatangan dari luar kota mencari peruntungan. Akan banyak wajah-wajah asing dengan bahasa dan logat yang berbeda.
Beruntung jika warga setempat bisa bersaing dengan para pendatang. Yang dikhawatirkan justru ketika penduduk asli tidak mampu bersaing dengan penduduk baru dari luar daerah. Jika hal ini terjadi, warga Jatiwangi hanya akan menjadi tamu di rumahnya sendiri. Peradaban baru tentu saja diperlukan untuk melanjutkan kehidupan.
Cek harga genteng jatiwangi terbaru: https://bangunharga.blogspot.com/2016/10/harga-genteng-jatiwangi-terbaru-bulan.htmlMenumbuhkannya butuh ruang. Ruang tumbuhnya menjadi perdebatan dari mereka yang lebih dulu meninggalinya. Beberapa melakukan perlawanan, tetapi banyak yang juga sepakat. Yang lebih penting dari semuanya adalah kesiapan dan menguatkan identitas diri. Pabrik genteng Jatiwangi kini tengah berada di tengah jalan sunyi. Bila tak mampu mempertahankan diri, usaha ini lambat laun akan mati.
Artikel: Kompas.com
Komentar
Posting Komentar